EKBISindo.com – Provinsi Jawa Barat menghadapi tantangan besar dalam memanfaatkan bonus demografi. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2024 mengungkap, satu dari lima penduduk usia muda di Jabar masih menganggur. Angka ini didominasi oleh lulusan SMA dan SMK, menandakan ketidaksesuaian kompetensi pendidikan dengan kebutuhan industri.
Lebih dari separuh pengangguran di Jawa Barat ternyata berasal dari kelompok usia muda. Hasil Sakernas, tingkat pengangguran usia 15-24 tahun pada 2024 mencapai 23,63 persen, dengan mayoritas lulusan SMA dan SMK.
Kondisi ini menjadi peringatan serius bagi pemerintah dan dunia pendidikan untuk menyelaraskan keterampilan lulusan dengan kebutuhan pasar kerja.
“Data Sakernas menunjukkan tingginya pengangguran di kelompok usia muda dengan persentase yang tinggi di jenis kelamin laki-lakI dan wilayah perkotaan. Tingkat pengangguran laki-laki sebesar 26,67 persen, sementara perempuan 19,42 persen. Pengangguran di perkotaan lebih tinggi, sebesar 24,02 persen. Sementara di perdesaan sebesar 22,04 persen,” terang Statistisi Ahli Muda Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat Raifa Mukti pada seminar dalam rangka Hari Kependudukan Sedunia 2025 yang digagas Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jawa Barat pada Senin (14/7/2025).
Baca Juga: Kemendukbangga dan Lazismu Bedah Dua Rumah Keluarga Miskin Berisiko Stunting di Bandung
Dilihat dari tingkat pendidikan, pengangguran usia muda Jawa Barat didominasi lulusan sekolah menengah atas (SMA), baik umum maupun kejuruan atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Hasil Sakernas 2024 menunjukkan 72,36 persen penduduk usia muda yang menganggur merupakan lulusan SMA dan SMK. Bahkan, penganggur lulusan SMK mencapai 40,71 persen.
Raifa menilai ada mismatch antara skill lulusan SMK dengan kebutuhan pasar kerja. Padahal, SMK sejatinya menjadi jenjang pendidikan yang menyiapkan lulusannya untuk memasuki pasar kerja aliuas langsung bekerja.
“Pengangguran lulusan SMK berlaku bukan hanya bagi fresh graduate, melainkan mereka yang bukan lulusan baru. Fresh graduate sebesar 28,67 persen, sisanya sebesar 71,33 persen merupakan lulusan lama,” ungkap Raifa.
Sebelumnya, saat membuka kegiatan, Kepala DP3AKB Jawa Barat Siska Gerfianti mengungkapkan, Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbesar dan terpadat di Indonesia. Kondisi ini tentunya menimbulkan berbagai tantangan. Salah satunya terkait besarnya angka penduduk usia produktif di Jawa Barat yang mencapai 31 juta jiwa.
“Ini potensi luar biasa jika dikelola dengan baik,” ujar Siska.
Dia menambahkan, angka kelahiran total atau total fertility brate (TFR) Jawa Barat sebesar 2,03 sebetulnya sudah mendekati seimbang. Namun demikian, disparitas antarkabupaten dan kota menjadi tantangan tersendiri karena di beberapa kabupaten/kota masih ada yang tinggi.
Baca Juga: 2.000 Penyuluh KB Ramaikan Jambore Bangga Kencana di Rancaupas, Menteri Wihaji Terharu
Tantangan lainnya, kepadatan penduduk di beberapa wilayah, seperti Kota Bekasi, Kota Depok, dan Kabupaten Bogor telah menembus angka lebih dari 13 ribu jiwa per kilometer. Prevalensi stunting Jawa Barat sebesar 15,9 persen, walaupun mengalami penurunan signifikan 5,8 persen namun tetap harus terus diturunkan.
“Dispensasi perkawinan anak di Jawa Barat tahun 2024 yaitu 3.631 dispensasi, mengalami penurunan dalam empat tahun terakhir. Namun demikian, perlu terus kita kempanyekan untuk melindungi anak-anak Jawa Barat dari perkawinan anak,” tegas Siska.
Di tengah populasi yang terus bertambah, sambung Siska, ada tantangan besar yaitu memastikan setiap orang, terutama generasi muda, punya akses pendidikan, kesehatan, dan sosial ekonomi serta kesempatan yang setara tidak memandang gender dan strata sosial ekonomi. Dia menegaskan, tema Hari Kependudukan Sedunia 2025 “Generasi Muda Berdaya, Keluarga Sejahtera, Jabar Istimewa” bukan hanya slogan, melainkan harus menjadi visi strategis yang penting untuk diwujudkan bersama.
“Mari kita bersama sama terus dorong kolaborasi lintas sektor dan lintas generasi untuk memastikan bahwa bonus demografi tidak menjadi bencana demografi. Hari Kependudukan Sedunia ini mari kita jadikan momentum sebagai titik balik untuk memperkuat sinergi, inovasi, dan komitmen bersama dalam menciptakan Jabar yang istimewa melalui generasi muda yang berdaya dan keluarga yang sejahtera,” pungkas Siska.
Baca Juga: Angka Perceraian Jabar Tertinggi di Indonesia, Pemprov Dorong Edukasi Sekolah Pranikah
Menyikapi tantangan kompleks tersebut, Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran (FEB Unpad) Ferry Hadiyanto menilai perlu adanya model pembangunan kependudukan yang secara khusus memberikan perhatian pada penduduk usia muda. Model tersebut hendaknya mempertimbangkan sinergitas perencanaan, pemetaan pola dan persebaran penduduk usia muda, proyeksi penduduk dan strukturnya pada kelompok usia 15-30 tahun, dan keterkaitan kebijakan multisektor untuk pembangunan kependudukan usia muda.
“Pembangunan kependudukan tidak hanya dilakukan dengan pendekatan yang berbasis pada masyarakat (community base), melainkan harus turut mempertimbangkan faktor individu (individual base). Pembangunan harus inklusif. Untuk itu, perlu mempertimbangkan faktor pembangunan keluarga dan aspek keberlanjutan yang dengan sendirinya di dalamnya turut memperhatikan penduduk usia muda,” tegas Ferry.
Ketua Koalisi Kependudukan Indonesia (KKI) Jawa Barat ini menilai perlunya perencanaan pembangunan kependudukan untuk menyesuaikan dengan perilaku baru, gaya hidup baru, dan lingkungan baru. Untuk itu, paradigma pembangunan keluarga membutuhkan pendekatan baru yang mengedepankan pesan lebih nyaman, lebih sehat, dan lebih bahagia.
“Bagi usia muda, sejahtera itu terlalu jauh. Apalagi bagi mereka yang belum menikah. Yang lebih penting sekarang itu ada bahagia. Pesan program harus mendorong terwujudnya keluarga bahagia. Apalagi, kesehatan mental kini menjadi isu populer di kalangan generasi muda,” tegas Ferry.***